Sebagian orang menerjemahkan kata Idul
Fitri ke dalam bahasa Indonesia menjadi ‘kembali suci’. Apakah penerjemahan
tersebut benar?
Kata Idul Fitri berasal dari bahasa arab ‘id
al-fihtr (عِيْدُ الْفِطْرِ). Kata ‘id (عِيْدٌ) berarti
hari raya (Kamus Muthahar, hal. 783-784).
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda:
يَا
أَبَا بَكْرِ، إِنَّ لِكُلَّ قَوْم عِيْدًا، وَهَذَا عِيْدُنَا
“Wahai Abu Bakar, sesungguhnya setiap
umat memiliki hari raya. Dan (hari) ini adalah hari raya kita”. (HR. Bukhari dan Muslim)
Hari Raya Natal dalam bahasa arab disebut
‘idul milad (عيد الميلاد), artinya Hari Raya
Kelahiran. Hari Raya Kemerdekaan disebut ‘idul istiqlal (عيد الاستقلال). Jadi ‘id
bukan berarti ‘kembali’. Hari Raya disebut ‘Id karena hari
tersebut dirayakan berulang-ulang setiap tahun. Selain Idul Fitri, umat Islam
memiliki hari raya yang lain, yaitu ‘Id al-Adlha (عِيْدُ الْأضحى). Idul
Adha berarti Hari Raya Hewan Sembelihan, bukan ‘kembali kepada hewan
sembelihan’.
Kata ‘kembali’ dalam bahasa arab adalah
‘ada – ya’udu – ‘audatan (عاد – يعود - عودة). Sekilas hurufnya
memang ada kemiripan, tetapi makna kata ‘id dan ‘audah
jauh berbeda dan penggunaanya pun tidak sama.
Selanjutnya, kata fithr (فِطْرٌ)
berarti makan, buka, sarapan (Kamus Muthahar, hal. 827-828). Lihatlah
penggunaan kata al-fithr dalam beberapa hadits di bawah ini.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لِلصَّائِمِ فَرْحَتَانِ: فَرْحَةٌ عِنْدَ
فِطْرِهِ، وَفَرْحَةٌ عِنْدَ لِقَاءِ رَبِّهِ
“Bagi orang yang
berpuasa ada dua kebahagiaan; bahagia ketika berbuka dan bahagia ketika
berjumpa Tuhannya” . (HR. Bukhari Muslim)
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, sesungguhnya
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
الصَّوْمُ
يَوْمٌ تَصُوْمُوْنَ وَالْفِطْرُ يَوْمٌ تُفْطِرُوْنَ وَالْأَضْحَى يَوْمٌ
تضحون
“Shaum/puasa adalah hari
kalian berpuasa, (‘Id) al-Fithri adalah hari kalian berbuka, dan (‘Id) al-Adlha adalah
hari kalian menyembelih.” (Sunan
at-Tirmidzi no. 697)
Kata fithr berbeda dengan fithrah
(فِطْرَةٌ). Sekilas hurufnya memang mirip, tetapi
makna dan penggunaannya berbeda. Kata fithrah bermakna kesucian,
agama yang lurus, dan naluri. Lihatlah penggunaan kata fithrah
dalam beberapa hadits di bawah ini. Bandingkan dengan penggunaan kata fithr
di atas.
عَشْرٌ مِنَ الْفِطْرَةِ
قَصُّ الشَّارِبِ وَإِعْفَاءُ اللِّحْيَةِ وَالسِّوَاكُ وَاسْتِنْشَاقُ الْمَاءِ
وَقَصُّ الأْظْفَارِ وَغَسْل الْبَرَاجِمِ وَنَتْفُ الإْبْطِ وَحَلْقُ الْعَانَةِ
وَانْتِقَاصُ الْمَاءِ
“Ada sepuluh hal dari fithrah
(kesucian), yaitu memangkas kumis, memelihara jenggot, bersiwak, istinsyaq
(menghirup air ke dalam hidung), potong kuku, membersihkan ruas jari-jemari,
mencabut bulu ketiak, mencukur bulu kemaluan dan istinjak (cebok) dengan air.” (HR. Muslim).
مَا مِنْ
مَوْلُودٍ إِلاَّ وُلِدَ عَلىَ الفِطْرَةِ فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ
وَيُنَصِّرَانِهِ وَيُمَجِّسَانِهِهِ
“Tidak ada bayi yang terlahir kecuali lahir dalam keadaan fithrah (beragama lurus,
yakni muslim). Lalu kedua
orang tuanya yang menjadikannya yahudi, nasrani atau majusi.” (HR. Muslim)
Oleh karena itu,
kata ‘id al-fihtri jika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia
berarti Hari Raya Makan atau Hari Raya Berbuka. Pada hari Idul
Fitri (tanggal 1 Syawwal) umat Islam diperintahkan untuk makan dan diharamkan
berpuasa. Bahkan salah satu sunnah pada hari raya Idul Fitri adalah makan
(sarapan) sebelum melaksanakan shalat ‘id.
Diriwayatkan dari Buraidah radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata:
كَانَ
النَّبِيُّ لاَ يَخْرُجُ يَوْمَ الفِطْرِ حَتَّى يَطْعَمَ
“Nabi ﷺ tidak keluar (untuk shalat ‘Id) pada hari Idul
Fitri sehingga beliau makan terlebih dahulu”. (HR. Ahmad, at-Tirmidzi, dan Ibu Majah)
Kesalahan penerjemahan kata Idul Fitri
ternyata mengakibatkan kekeliruan pemahaman akan makna Idul Fitri dan munculnya
tradisi dan kepercayaan yang kurang sesuai, bahkan bertentangan, dengan ajaran
Islam. Karena mengartikan Idul Fitri sebagai ‘kembali suci’, banyak orang Islam
yang menyangka bahwa pada hari Idul Fitri mereka kembali suci, dosa-dosa mereka
semuanya diampuni. Kemudian orang-orang ini mengadakan
berbagai macam pesta pora; pesta petasan, kembang api, musik, film spesial,
belanja, dan pesta-pesta yang lain.
Kami ingin
bertanya, dari mana Anda bisa merasa bahwa Anda kembali suci? Apakah Anda bisa
memastikan bahwa puasa dan amal ibadah Anda selama di bulan Ramadhan diterima
oleh Allah ta’ala? Apakah Anda bisa memastikan bahwa dosa-dosa Anda sudah
diampuni oleh Allah ta’ala? Apakah amal ibadah yang Anda lakukan benar-benar
sudah sesuai dengan syari’at? Apakah amal ibadah yang Anda lakukan benar-benar
ikhlash HANYA karena Allah ta’ala?
Bukankah pada
bulan Ramadhan kemarin Anda masih saja berbuat dosa? Masih melihat sesuatu yang
diharamkan oleh Allah, masih berbohong, masih menggunjing (ngerasani),
masih berkata keji dan kasar, masih menyakiti orang lain? Bukankah di dalam
hati masih ada riya` (ingin dilihat orang lain) ketika shalat di masjid,
bersedekah, berinfaq, ataupun membayar zakat? AYO JUJUR..!!
Jangan
sombong..!! Jangan merasa sok suci. Allah ta’ala mengingatkan kita.
﴿...فَلَا تُزَكُّوا أَنْفُسَكُمْ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنِ اتَّقَى﴾
{النجم: ٣٢}
“…Janganlah kalian merasa suci. Dia Maha
Mengetahui siapa yang bertaqwa”. (QS. An-Najm: 32)
Justru setelah Ramadhan berakhir kita
dianjurkan, dengan penuh rasa rendah hati, memperbanyak do’a:
تَقَبَّلَ
اللهُ مِنَّا وَمِنْكُمْ
Taqobbalallohu minna wa minkum
“Semoga Allah menerima (ibadah) kami dan kalian”. (Diriwayatkan dari Jubair
bin Nufair. Lihat Fiqhussunnah: I/274)
Dalam Lathaiful
Ma’arif, hal. 264, Ibnu Rajab al-Hanbali mengutip perkataan Mu’alla
bin Fadl;
“Dulu
para sahabat, selama enam bulan sebelum datang bulan Ramadhan,
mereka berdoa agar Allah mempertemukan mereka dengan bulan Ramadhan.
Kemudian, selama enam bulan sesudah Ramadhan, mereka berdoa agar Allah
menerima amal mereka ketika di bulan Ramadhan.”
Merasa senang
dengan hadirnya Hari Raya boleh-boleh saja. Namun jangan sampai kelewat batas.
Jangan sampai malah memperbanyak dosa melalui acara-acara yang mengandung
ma’shiat. Jangan sampai malah lupa dari apa yang dianjurkan oleh agama;
memperbanyak takbir,
tahlil, dan tahmid,
serta doa:
تَقَبَّلَ اللهُ مِنَّا وَمِنْكُمْ
“Semoga Allah menerima (ibadah) kami dan kalian”.
Wallahu a’lam bish-shawab.
Wallahu a’lam bish-shawab.
(M. Tajuddin, S.Hum.
–Staf Pengajar Pesma Baitul Hikmah)
Komentar