Adab Para Pencari Ilmu
[Adab Muta’allim]
Syekh az-Zarnujiy di dalam muqoddimah
kitab Ta’lim al-Muta’allim menjelaskan bahwa banyak pelajar yang
bersungguh-sungguh di dalam belajar namun mereka gagal mencapai manfaat dan
buah ilmu, yaitu mengamalkan dan mengembangkan ilmu. Hal tersebut dikarenakan
mereka salah jalan dan mengabaikan persyaratannya. Yang dimaksud jalan (metode)
dan persyaratan tersebut adalah adab di dalam belajar. Oleh karena itu
agar para pencari ilmu sukses di dalam belajar, bisa menggapai manfaat dan buah
ilmu, hendaknya mereka senantiasa memperhatikan dan mengamalkan adab-adab di
dalam belajar.
Kewajiban Belajar
(طَلَبُ
الْعِلْمِ فَرِيْضَةٌ عَلَى كُلّ مُسْلِمٍ)
رواه الطبرانى والبيهاقى والبزّار والترمذى
“Mencari
ilmu adalah fardlu bagi setiap orang muslim.” (HR. at-Thabraniy,
al-Baihaqi, al-Bazzar, dan at-Tirmidzi)
Syeikh az-Zarnujiy menjelaskan bahwa
tidak semua jenis ilmu wajib dipelajari oleh setiap muslim. Yang wajib
dipelajari oleh setiap muslim adalah ilmu hal, yaitu ilmu yang
dibutuhkan untuk menghadapi tugas, kondisi, dan kewajiban nya pada saat ia
menghadapinya.
Contoh: Seorang muslim wajib shalat, maka
ia wajib mempelajari ilmu tentang shalat seperti thaharah, syarat-rukun shalat,
hal-hal yang membatalkan shalat, dll.
Begitu juga ilmu tentang puasa, zakat,
dan haji jika ia telah memiliki kemampuan.
Seorang muslim yang bekerja sebagai
pedagang maka ia wajib mempelajari ilmu tentang muamalat, seperti jual-beli,
hutang-piutang, riba, dan lain-lain agar dia bisa terhindar dari hal-hal harom
yang ada di dalam pekerjaannya.
Yang termasuk ilmu hal adalah ilmu
tentang tingkah polah hati seperti tawakkal, inabah, khosy-yah, dan ridlo
karena hal-hal tersebut senantiasa dibutuhkan oleh setiap muslim di mana pun
dan kapan pun.
Ilmu yang fardlu ‘ain dan fardlu
kifayah
Menurut Imam al-Ghozali, ilmu itu ada dua
macam; ilmu yang fardlu ‘ain
dipelajari dan ilmu yang fardlu kifayah dipelajari. Ilmu apa saja yang fardlu ‘ain dan ilmu apa saja yang fardlu kifayah? Secara garis besar ilmu
itu ada dua macam; ulumiddin dan ilmu
untuk urusan dunia.
Pertama, Ulumiddin (ilmu syar’iy, ilmu
yang khusus membahas tentang agama). Ilmu ini ada dua macam;
-
Ilmu-ilmu agama yang fardlu ain dipelajari. Setiap orang yang beragama Islam wajib
mempelajari ilmu-ilmu ini. Contoh; Aqidah (ilmu tentang mengenal Allah), rukun
Iman, ilmu tentang thoharoh, sholat, puasa, zakat (jika sudah berkewajiban),
haji (jika sudah mampu). Ilmu tentang hubungan kita dengan Alloh ta’ala,
seperti husnudz-dzon, tawakkal, qona’ah, dan ridlo. Ilmu tentang hubungan kita
dengan sesama manusia seperti ilmu jual beli, ilmu tentang rendah hati dan takabbur, dermawan dan kikir, serta ilmu
tentang akhlaq yang lain.
-
Ilmu-ilmu agama yang fardlu kifayah dipelajari. Kewajiban mempelajari ilmu-ilmu ini
menjadi beban bagi seluruh orang yang beragama Islam di dalam sebuah komunitas,
kelompok, desa, atau kelurahan. Jika di dalam komunitas tersebut sudah ada
sebagian umat islam yang ahli dalam ilmu-ilmu tersebut, gugurlah kewajiban itu
bagi yang lain. Contoh; ilmu nahwu-sharaf, ilmu tajwid, ilmu tafsir, ilmu
hadits, ilmu mengurus jenazah, dan ilmu balaghoh.
Kedua, Ilmu yang membahas tentang urusan
di dunia. Seperti ilmu kedokteran, ilmu teknik, ilmu pertanian, ilmu perikanan,
ilmu psikologi, ilmu sastra, dan ilmu politik. Ilmu-ilmu seperti ini, menurut
para ulama, hukumnya fardlu kifayah
dipelajari oleh orang yang beragama Islam. Jika ada sebagian umat Islam dalam
sebuah komunitas yang ahli dalam ilmu-ilmu tersebut, umat islam yang lain tidak
berkewajiban mempelajarinya.
Selain itu ada ilmu yang haram dipelajari,
seperti ilmu sihir dan ilmu ramalan.
Salah satu adab bagi pencari ilmu adalah
mendahulukan belajar ilmu yang fardlu ain daripada ilmu yang fardlu
kifayah.
Keutamaan Ilmu
شَهِدَ اللَّهُ أَنَّهُ لَا
إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ وَالْمَلَائِكَةُ وَأُولُو الْعِلْمِ قَائِمًا بِالْقِسْطِ ۚ لَا
إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ
“Allah bersaksi
bahwasanya tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia, yang
menegakkan keadilan. Para Malaikat dan orang-orang yang berilmu (juga
menyatakan yang demikian itu). tak ada Tuhan melainkan Dia (yang berhak
disembah), yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. Ali Imron: 18)
Di dalam ayat tersebut Allah ta’ala menyatakan
bahwa orang yang berilmu itu menjadi saksi bersama dengan Allah
dan malaikat atas tauhid. Hal ini menunjukkan keutamaan orang yang berilmu.
وعن
أبى هريرة رضي الله عنه قال: قال رسول الله ﷺ : (مَنْ يُرِدِ
اللهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقّهْهُ فِى الدّيْنِ). رواه البخاري ومسلم
“Dari Abu Hurairah r.a.
beliau berkata; Rasulullah ﷺ bersabda: ‘Barangsiapa yang Allah
menghendaki untuknya kebaikan, maka Dia ‘kan memahamkannya di dalam agama’.
(HR. Bukhari dan Muslim)
Abuya Sayyid Muhammad bin Alawy
menjelaskan di dalam Fathu al-Qarib al-Mujib ‘ala Tahdzibi at-Targhib wa
at-Tarhib bahwa di dalam hadits tersebut terdapat keterangan:
- - berita gembira bagi para pencari ilmu (syar’iy) bahwa mereka akan mendapatkan husnul khatimah, insyaalloh.
- - keutamaan mengetahui hukum-hukum syari’at.
- - orang yang tidak memahami agama, ibadahnya tidak diterima.
Dengan ilmu, Allah ta’ala memperlihatkan
keunggulan Nabi Adam atas malaikat dan memerintahkan mereka agar bersujud kepada
beliau.
Ilmu itu mulia karena ia adalah wasilah
(perantara) terhadap kebaikan dan taqwa. Sedangkan kemuliaan manusia di hadapan
Allah itu adalah sesuai kadar ketaqwaannya.
Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyah (wafat th.
751 H) menjelaskan perbedaan antara ilmu dengan harta.
¡ Ilmu adalah warisan para Nabi, sedang
harta adalah warisan para raja dan orang kaya.
¡ Ilmu menjaga pemiliknya, sedang pemilik harta menjaga
hartanya.
¡ Ilmu adalah penguasa atas harta, sedang
harta tidak berkuasa atas ilmu.
¡ Harta bisa habis dengan sebab
dibelanjakan, sedangkan ilmu justru bertambah dengan diajarkan.
¡ Pemilik harta jika telah meninggal dunia,
ia berpisah dengan hartanya, sedangkan ilmu mengiringinya masuk ke dalam kubur
bersama para pemiliknya.
¡ Harta bisa didapatkan oleh siapa saja,
baik orang ber-iman, kafir, orang shalih dan orang jahat, sedangkan ilmu yang
bermanfaat hanya didapatkan oleh orang yang beriman saja.
¡ Sesungguhnya jiwa menjadi lebih mulia dan
bersih dengan mendapatkan ilmu, itulah kesempurnaan diri dan kemuliaannya.
Sedangkan harta tidak membersihkan dirinya, tidak pula menambahkan sifat
kesempurnaan dirinya, malah jiwanya menjadi berkurang dan kikir dengan
mengumpulkan harta dan menginginkannya
¡ Sesungguhnya mencintai ilmu dan
mencarinya adalah akar seluruh ketaatan, sedangkan mencintai harta dan dunia
adalah akar berbagai kesalahan.
¡ Sesungguhnya orang berilmu mengajak
manusia kepada Allah Azza wa Jalla dengan ilmunya dan akhlaknya, sedangkan
orang kaya mengajak manusia ke Neraka dengan harta dan sikapnya.
¡ Sesungguhnya yang dihasilkan dengan
kekayaan harta adalah kelezatan binatang. Jika pemiliknya mencari kelezatan
dengan mengumpulkannya, itulah kelezatan ilusi. Jika pemiliknya mengumpulkan
dengan mengguna-kannya untuk memenuhi kebutuhan syahwatnya, itulah kelezatan
binatang. Sedangkan kelezatan ilmu, ia adalah kelezatan akal plus ruhani yang
mirip dengan kelezatan para Malaikat dan kegembiraan mereka.
Membersihkan Hati
Diriwayatkan dari
Rasulullah ﷺ, bahwa
beliau bersabda, “Sungguh di dalam jasad ini ada segumpal daging. Jika
ia baik, maka pasti baik pula seluruh tubuh. Jika ia rusak, maka pasti rusak
pula seluruh tubuh. Ketahuilah, ia adalah hati.” (HR. Bukhori Muslim)
Pencari ilmu harus membersihkan hatinya
dari berbagai macam penyakit hati seperti ujub (bangga diri),
takabbur (sombong), riya` (ingin mendapat penghargaan dan pujian
dari manusia), sum’ah, hasad (iri dengki), su`u dzon (buruk
sangka), kikir, dan cinta dunia. Hal itu dilakukan sebagai prasyarat untuk
layak menerima, menghafal, memahami, dan memetik buahnya ilmu.
Hati yang bersih bagaikan tanah yang
subur. Sedangkan hati yang kotor bagaikan tanah yang tandus. Jika ilmu ditanam
di dalam hati yang bersih, insya`allah, ia akan tumbuh subur dan
berbuah. Begitu pula sebaliknya.
Imam asy-Syafi’i pernah berkata (dalam
bentuk sya’ir), “Aku mengeluhkan buruknya hafalanku kepada syeikh Waki’ ibn
Jarrah, maka beliau
membimbingku untuk meninggalkan
maksiat-maksiat. Beliau
memberitahuku bahwa ilmu adalah cahaya, dan cahaya Allah tidak akan dihadiahkan
kepada orang yang suka bermaksiat.”
Imam al-Haddad berkata, “Andai saja
engkau mendatangi seseorang dengan membawa mangkok yang kotor
dan ingin meminta
darinya minyak, madu,
atau yang lainnya,
ia pasti akan
berkata kepadamu: ‘Pergilah, cuci
dulu (mangkokmu)!” Yang
seperti ini dalam
urusan duniawi, maka bagaimana mungkin
rahasia-rahasia (agama) akan
diletakkan di dalam
hati-hati yang kotor?”
Niat di Waktu Belajar
عَنْ أَمِيْرِ الْمُؤْمِنِيْنَ أَبِيْ حَفْصٍ عُمَرَ بْنِ
الْخَطَّابِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه
وسلم يَقُوْلُ :) إِنَّمَا
اْلأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى . . .). رواه
البخاري ومسلم
Dari Amirul Mu`minin Abu Hafs Umar bin
al-Khaththab r.a. beliau berkata; aku mendengar Rasulullah ﷺ
bersabda: “sesungguhnya amal-amal itu
tergantung niat dan sesungguhnya bagi setiap orang apa yang dia niatkan…” (HR.
Bukhari dan Muslim)
Hendaknya setiap muslim senantiasa
memperbaiki niat dalam setiap aktifitasnya, terutama dalam mencari ilmu.
Niat Baik dan Niat Buruk
Hendaknya seorang santri mencari ilmu
dengan niat untuk mendapatkan ridlo Allah ta’ala, menghidupkan dan menegakkan
agama, menerangi jiwa, menghilangkan kebodohan dari diri sendiri dan orang
lain, dan sebagai media untuk taqorrub kepada Allah ta’ala. Selain itu
hendaknya para pencari ilmu meniatkan belajarnya sebagai ungkapan syukur kepada
Allah ta’ala atas nikmat badan dan akal yang sehat.
JANGAN berniat mencari ilmu untuk
memperoleh kenikmatan dunia seperti jabatan, harta, gelar akademik, ijazah, penghargaan
dan pujian dari manusia, serta popularitas di kalangan manusia. JANGAN mencari
ilmu dengan tujuan untuk mendebat ulama dan mengalahkan mereka.
فقد رُوِيَ عن النبي صلى الله عليه وسلم: ( مَنْ
طَلَبَ الْعِلْمَ لِيُجَارِى بِهِ الْعُلَمَاءَ أَوْ يُمَارِى بِهِ الْفُقَهَاءَ
أَوْ يَصْرِفَ بِهِ وُجُوْهَ النَّاسِ أَدْخَلَهُ اللهُ فِى النَّارِ) رواه
الترمذي
“Barangsiapa mencari ilmu dengan tujuan
untuk menyaingi ulama atau untuk mendebat fuqoha` atau untuk
memalingkan pandangan manusia, niscaya Allah ta’ala ‘kan memasukkan dia ke
dalam neraka.” (HR. at-Tirmidzi)
Wahai para pencari ilmu..!! Ilmu itu
sesuatu yang sangat mulia. Mencari ilmu itu juga susah, penuh dengan
pengorbanan. Janganlah engkau meniatkan belajarmu yang penuh dengan kesusahan
dan kepayahan itu hanya untuk dunia yang hina dan fana ini..!!
(Insyaallah, bersambung)
Muhtar Tajuddin, Sekretaris Pesma Baitul Hikmah.
Muhtar Tajuddin, Sekretaris Pesma Baitul Hikmah.
Komentar