Oleh: Lukman Faizin, santri PesMa Baitul Hikmah, Mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Airlangga Surabaya semester 6.
Modernitas, suatu
kondisi perubahan pada masyarakat yang terjadi akhir-akhir ini. Pengertian
modernitas berasal dari perkataan "modern"; dan makna umum dari
perkataan modern adalah segala sesuatu yang bersangkutan dengan kehidupan masa
kini. Lawan dari modern adalah kuno, yaitu segala sesuatu yang bersangkutan
dengan masa lampau. Jadi modernitas adalah pandangan yang dianut untuk
menghadapi masa kini. Selain bersifat pandangan, modernitas juga merupakan
sikap hidup. Yaitu sikap hidup yang dianut dalam menghadapi kehidupan masa
kini. Kalau kita berbicara tentang masa kini, maka yang dimaksudkan adalah
waktu sekarang dan masa depan (Suryohadiprojo, 1994). Sekarang marilah
kita mulai dari modernitas itu sendiri. Modernitas sebagaimana hal atau konsep
yang lain terdapat unsur atau jiwa pembentuknya. Dalam hal ini Modernitas
memiliki premis-premis sebagai pembentuk jiwa darinya. Menurut Hardiman (2003)
dalam bukunya Melampaui Positivisme dan Modernitas, merumuskan bahwa premis-premis
dari modernitas ada 3, yakni kesadaran diri manusia, sikap kritis, serta bersifat
progresif. Ketiga premis tersebut memang seperti suatu urutan, namun ketiganya
juga merupakan siklus, sehingga ketika samapai pada premis terakhir maka akan
timbul lagi premis yang pertama, kedua, begitu seterusnya.
Yang pertama adalah
kesadaran diri. Maksud dari premis ini adalah kesadaran diri seorang manusia
sebagai subyek, dalam hal ini berkenaan dengan hak, hak asasi, fungsi ilmu
pengetahuan, otonomi pribadi dan demokrasi (Hardiman, 2003). Manusia tidak lagi
menjadi obyek dari kehidupan, melainkan menjadi subyek atau pelaku dari
kehidupan ini, yang berarti bahwa dapat terus aktif melakukan perubahan atau
tidak dalam kehidupannya. Kesadaran diri ini tentu saja pada akhirnya menuntut
individu untuk selalu memperhatikan sekitarnya, serta selalu berpikir bagaimana
seharusnya. Hal ini berbeda dengan yang terjadi pada hewan, karena yang terjadi
pada hewan adalah mengenai dia sendiri, sedangkan pada manusia terdapat aktivitas
kejiwaan yang memungkinkan untuk disertai oleh aktivitas sosial, karena itulah
manusia juga bisa disebut makhluk psycho-sosial (Gazalba, 1978).
Kemudian premis yang
kedua adalah sikap kritis, dalam artian bahwa orang modern itu cenderung
mengeliminir prasangka-prasangka dari tradisi, memiliki gairah untuk mengkaji
penghayatan, dan mempersoalkan dimensi autoritas yang taken for granted
(Hardiman, 2003). Premis ini merupakan akibat yang muncul dari adanya premis
pertama, yakni kesadaran diri sebagai subyek.
Yang terakhir adalah
bersifat progresif, artinya mengadakan perubahan-perubahan yang mana itu secara
kualitatif baru (Hardiman, 2003). Perubahan tersebut bisa di bidang apapun,
baik itu sosial budaya, sistem, teknologi, pemaknaan, dst. Sehingga pandangan
modernitas menuntut manusia untuk terus berkembang dan maju secara dinamis dalam menjalani hidupnya.
Tidak stagnan atau statis. Premis yang terakhir ini kemudian nantinya akan
membentuk suatu kesadaran baru tentnag sesuatu yang baru, kemudian akan ada
pikiran kritis (premis kedua) lagi, begitu seterusnya. Sehingga akhirnya
membentuk suatu siklus utuh yang berjalan terus menerus.
Pandangan tentang
modernitas tersebut menyangkut segala aspek dalam kehidupan manusia. Tidak
terkecuali aspek kehidupan pendidikan. Kelemahan dari pandangan modernitas itu
adalah, tidak adanya kontrol arah dari perubahan yang dilakukan. Sehingga arah
dari perubahan yang terjadi bersifat bebas. Lalu apakah hubungannya dengan
pendidikan? Tentu saja sangat berhubungan, dan menimbulkan permasalahan baru.
Pendidikan adalah
sarana untuk membentuk generasi baru yang akan melanjutkan kehidupan berbangsa
dan bernegara. Pendidikan juga berperan dalam meningkatkan kualitas kehidupan
manusia. Maka dari itu, pendidikan tentunya juga mempunyai tujuan yang jelas
dalam prosesnya. Berikut ini secara umum tujuan pendidikan di Indonesia.
1. UU
No2 Tahun 1985 yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia
yang seutuhnya yaitu yang beriman dan dan bertagwa kepada tuhan yang maha esa
dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, jasmani dan
rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa tanggung jawab
kemasyarakatan dan berbangsa.
2. Tujuan
Pendidikan nasional menurut TAP MPR NO II/MPR/1993 yaitu Meningkatkan kualitas
manusia Indonesia, yaitu manusia yang beriman dan bertakwa terhadap Tuhan Yang
Maha Esa, berbudi pekerti luhur, berkepribadian, mandiri, maju, tangguh,
cerdas, kreatif, terampil, berdisiplin, beretos kerja profesional serta sehat
jasmani dan rohani.
Pendidikan
nasional juga harus menumbuhkan jiwa patriotik dan memepertebal rasa cinta
tanah air, meningkatkan semangat kebangsaan dan kesetiakawaan sosial, serta
kesadaran pada sejarah bangsa dan sikap menghargai jasa para pahlawan serta
berorientasi masa depan
3. TAP
MPR No 4/MPR/1975, tujuan pendidikan adalah membangun di bidang pendidikan
didasarkan atas falsafah negara dan diarahkan untuk membentuk manusia-manusia
pembangun yang berpancasila dan untuk membentuk manusia yang sehat jasmani dan
rohaninya, memiliki pengetahuan dan keterampilan yang dapat mengembangkan
kreatifitas dan tanggung jawab dapat menyuburkan sikap demokratis dan penuh
tenggang rasa, dapat mengembangkan kecerdasan yang tinggi dan disertai budi
pekerti yang luhur, mencintai bangsanya dan mencintai sesama manusia sesuai
dengan ketentuan yang termaktub dalam UUD 1945, Bab II (Pasal 2, 3, dan 4).
Berdasarkan
pada beberapa tujuan diatas, maka jelas secara garis besar bahwa tujuan
pendidikan di Indonesia lebih menekankan pada pembentukan jiwa dan karakter
manusia. Bukan hanya sekadar untuk menumbuhkan atau mengembangkan pengetahuan
kognitifnya saja.
Masyarakat sebagai individu yang
menjalankan pandangan modernitas itu kemudian, mulai belajar untuk sadar akan
keadaan di sekitarnya. Maka sudah sepantasnya mereka juga melihat kondisi dari
individu di sekitar mereka juga. Baik itu kondisi finansial, maupun hal yang
bersifat abstrask seperti prestisius, kebanggaan, dsb. Sistem pendidikan serta
kehidupan yang kemudian ada menuntut untuk berpatokan pada prestasi akademis.
Sekolah-sekolah juga menuntut untuk memaksimalkan kecakapan dan kemampuan
kognisi (http://www.pendidikankarakter.com/wajah-sistem-pendidikan-di-indonesia/).
Sehingga kemudian masyarakatpun mengarahkan implementasi dari pandangan
modernitas ke arah tersebut. Tujuan utama untuk membentuk kepribadian serta
karakter anak tidak lagi jadi tujuan utama. Segala teknologi, metode serta
berbagai sistem yang ada dibuat untuk tujuan mengejar nilai akademis. Tidak
peduli lagi apakah karakter individu yang dididik tersebut akan mempunyai
karakter seperti yang diinginkan tujuan pendidikan di Indoneisa ataukah tidak.
Sekarang,
kita bisa lihat hasilnya, terjadi krisis kemanusiaan dan moral, banyak terjadi
kasus-kasus pembunuhan yang semakin meningkat secara kualitas dan kuantitas,
berbagai tindakan yang tidak bermoral dilakukan seperti biasa saja. memang kita
(masyarakat Indonesia) masih diuntungkan dengan budaya “timur” yang terdapat di
Indonesia ini sehingga krisis yang terjadi tidak terlalu frontal. Akan tetapi,
dari berbagai kejadian akhir-akhir ini, maka perlu adanya kesadaran diri yang
mengarah kembali kepada tujuan semula.
Pendidikan
yang tidak berorientasi pada pembentukan karakter manusia menyebabkan individu
yang dididik menjadi manusia-manusia yang tidak mempedulikan lagi aspek
kemanusiaan, rasa kemanusiaan yang berupa aspek moral, etika, serta sikap hidup
lambat laun akan hilang digantikan dengan karakter “mesin” hasil dari bentukan
sistem pendidikan yang hanya mengarah pada aspke kognitif saja.
Modernitas
merupakan gerakan perubahan yang bersifat progresif, kritis serta berkesadaran
diri. Namun perlu adanya kontrol atas arah dari gerakan tersebut agar tidak
bebas melenceng sesuai kehendak hati
dari cita-cita semula. Sehingga ketika sudah ada kontrol dari gerakan tersebut,
maka pandangan modernitas niscaya akan memberi perubahan yang lebih baik bagi
kehidupan ini. (lufaz.13)
Daftar Pustaka
Drijarkara. (2005). Filsafat Manusia. Yogyakarta:
Kanisius.
Gazalba, Drs. Sidi. (1978). Ilmu, Filsafat dan
Islam Tentang Manusia dan Agama. Jakarta: Bulan Bintang
Hardiman, F. Budi. (2012). Melampaui Positivisme
dan Modernitas. Yogyakarta : kanisius.
AnneAhira.com, (2011). Memahami tujuan Pendidikan.
Diakses pada tanggal 24 April 2012 dari http://www.anneahira.com/artikel-pendidikan/tujuan-pendidikan.htm
Admin. (2011). Wajah sistem Pendidikan di
Indonesia. Diakses pada tanggal 24 April 2012 dari
http://www.pendidikankarakter.com/wajah-sistem-pendidikan-di-indonesia/
Suryohadiprojo, Sayidiman. (1994).
Makna Modernitas dan Tantangannya terhadap Iman. Diakses pada tanggal 24 April 2012 dari http://sayidiman.suryohadiprojo.com/?p=198
Komentar
Ct. Seorang guru yang mengajari muridnya agar disiplin, tapi dia sendiri sering datang terlambat. Hasilnya, kira-kira, si murid tahu dan mengerti arti dan pentingnya disiplin, tapi si murid "enggan" untuk berdisiplin, karena pelajaran "kehidupan" yang ia dapatkan dari gurunya adalah "prilaku tidak displin".