Oleh Khoirul Faizin (Angkatan
2017)
Pernahkah kalian ingin
melakukan dua pekerjaan yang ingin kalian dapat hasil maksimal tapi sayangnya
kalian harus memilih satu karena suatu keterbatasan? Jika belum, mungkin
pengalamanku akan menambah sudut pandang baru dalam hidup kalian. Ya,
setidaknya kalian harus belajar dari kesalahan orang. Dengan begitu kalian
tidak perlu untuk merasakan pahitnya kekecewaan.
Ujian Nasional (UN)
tinggal menghitung hari dan aku masih belum mepersiapkannya matang-matang. Ya,
aku tak tahu jika ini begitu penting bagiku. Saat kelas satu dan kelas dua aku
hanya mempelajarinya untuk sekedar tahu, dan menjadi angin lalu yang berhembus
pelan diantara pikirku.
Setiap hari aku mencoba
untuk melahap buku-buku penunjang UN dari yang berisi rumus cepat hingga yang
memiliki ketebalan lumayan untuk bantal tidur di kelas. Pulang sore dengan
gurat-gurat kebingungan yang semakin hari semakin bertambah.
Karena mempelajari
pelajaran UN yang menurutku terlalu rendah ketimbang pilihan SBMPTN ku yang
lebih tinggi aku langsung focus ke SBMPTN.
Pertama-tama aku harus
mendapat bimbingan belajar dengan biaya seminimal mungkin. Jadi aku mulai
mengikuti try out yang menawarkan bimbingan belajar bagi siswa yang memiliki
peringkat tinggi.
Aku sudah masuk seleksi
I di bimbingan belajar BPUN tapi tidak kuteruskan karena biayanya yang
menurutku mahal. Kemudian datang ‘angin sejuk’ dari temanku yang les di SSC.
Jadi SSC menyelenggarakan program ‘pengabdian masyarakat’, yang mana program
tersebut ditujukan bagi anak kelas III SMA yang menyandangg predikat yatim atau
piatu. Aku daftar di sana dan Alhamdulillah diterima.
Waktu kurang satu bulan
dari SBMPTN. Buku yang berisi materi sudah kupunyai. Semangatku pun terisi
penuh berkat motivasi dari ibu yang selalu mendukungku. Aku merasa terisi
penuh. Ya, dengan kondisi mental seperti itu, aku siap menghadapi SBMPTN.
Farmasi, tunggu aku, aku
akan menggapaimu.
Sebelumnya aku sudah
memilih tiga universitas yaitu UGM, UNAIR, dan UNPAD. Jika kalian mengira aku
secara penuh menyerahkan pilihanku disana karena akreditas, maka akan ku jawab salah. Motivasiku masuk ketiga kampus
itu adalah karena ada sahabat-sahabatku yang ingin ke sana. Alasan konyol?
Silahkan sebut begitu. Tapi aku memang (sedikit) lebih mementingkan jurusan
ketimbang nama universitas. Karena tekadku sudah bulat untuk mempelajari
obat-obatan.
Hari-hari menjelang
SBMPTN kuiisi dengan belajar. Siang hari kuhabiskan waktu di SSC bersama dengan
temanku. Dialah motivasi ku untuk menggapai impian. Saat belajar ku mulai
mengendor, ia lah yang menegurku.
“Tahukah kamu, Zin.
Saat kamu bersantai-santai, pesaingmu sedang beajar untuk masuk Farmasi. Ingat
pesaingmu banyak, Zin.”
Itulah kata-kata yang
memotivasi diriku untuk terus berpacu, diantara kemalasan yang merangkulku,
diantara pesimisme yang menggoyahkanku, diantara lelahnya beajar yang merayuku.
Aku tetap melangkah walau terseok-seok. Setiap hari kubuka buku yang kupinjam
dari temanku. Aku juga sudah punya target
soal yang harus kujawab.
H-1 aku berangkat
dengan temanku yang bercita-cita berkuliah ke Jerman. Kami menginap di
kos-kosan saudaranya. Kebetulan kami juga ujian di universitas yang sama dan
kelas yang sama.
Saat hari H aku sangat
gugup. “Inilah hari penentu,” itulah yang aku pikirkan saat jemariku
menggenggam pensil yang siap untuk menghitamkan lembar jawaban. Kurasakan
keringat dingin membasahi punggungguku, tapi kutepis perasaan gugupku agar
tidak mengganggu konsentrasi.
Saat pengerjaan TKD aku
tahu harus berapa yang harus kuiisi. Bingung? Uh, aku merasa menyesal karena
materi Fisika –musuh terbesarku- yang mudah tak kuiingat rumusnya. Tapi aku
harus tetap tenang. Tak apa menjawab sedikit yang terpenting jawabanku benar,
itulah kata-kata yang kugunakan untuk menenangkan jantungku yang berpacu.
Saat pengumuman, jika
boleh jujur, aku kecewa karena tidak masuk UGM. Rasa kecewa itu karena aku
tidak bisa ke sana dengan sahabatku. Tapi saat aku ditelpon olehnya, “aku juga
tidak masuk UGM,” itulah yang membuatku semakin sedih. Dan beberapa hari kemudian
aku ditelpon oleh partnerku di SSC, katanya ia tidak diterima di fakultas
kedokteran impiannya. Itulah hari-hari tersedih setelah pengumuman SBMPTN.
Aku tidak diterima di
UGM tapi di UNAIR. Aku belum merasa senang, bukan berarti membenci, hanya saja
aku masih sedih dengan dua sahabatku yang harapan mereka hanya berbekas
ekspetasi. Tapi inilah almamaterku. Aku bangga memilikinya, “Jurusan farmasinya
tebaik se-Indonesia,” begitulah tutur Wali Kelasku saat event buka bersama.
Aku semakin yakin bahwa
inilah unversitas terbaik, karena ia akan menyongsong menjadi universitas kelas
dunia #UNAIRGO500WCU .
Saat aku sudah diterima
di salah satu universitas terbaik se-Indonesia, aku mulai bingung tempat yang
akan kujadikan naungan. Temanku sudah menawarkan untuk satu-kos dengannya. Aku
menyetujuinya. Kami pun sudah punya planning untuk ke depannya prihal pembagian
alat-alat rumah tangga yang harus dibawa. Sayang aku harus membatalkannya.
Karena ada yang lebih baik dari pada kos.
Pesantren Mahasiswa
Baitul Hikmah, itulah nama tempat tinggal yang akan kujadikan naungan. Tapi
ternyata aku tidak bisa langsung dijadikan penghuni tetap di tempat ini. Aku
harus melewati rangkaian ujian untuk bisa menyandang predikat santri PesMa
Baitul Hikmah. Harap-harap cemas untuk diterima di tempat tinggal yang
insyaallah barokah ini.
Alhamdulillah para
calon santri, termasuk aku, diperbolehkan untuk tinggal sementara di pesma
sambil menunggu pengumuman seleksi. Aku datang ke pesma ini tanggal 31 Juli.
Barang-barang pun sudah aku bawa. Karena pengukuhan akan dilaksanakan tanggal 2
Juli dan setelahnya adalah serangkaian acara AMERTA.
Setelah beberapa hari,
pengumuman di upload di website pesma. Alhamdulillah santri yang telah daftar
diterima semua. Bersyukur, dengan ini aku bisa kuliah di dua tempat, UNAIR dan
PesMa Baitul Hikmah.
Selain belajar ilmu
dunia di UNAIR, aku juga belajar ilmu akhirat di Pesma, semoga pengajar, donatur, dan santrinya mendapat ilmu yang
barokah dan ridho-Nya, aaamiiin.
Komentar